Panduan Zakat

فقه الزكاة المعاصر

FIQIH

ZAKAT

KONTEMPORER

Oleh H. Ahmad Sarwat, Lc

A. Pengertian Zakat

Secara bahasa, zakat itu bermakna : [1] bertambah, [2] suci, [3] tumbuh [4] barakah. (lihat kamus Al-Mu`jam al-Wasith jilid 1 hal. 398). Makna yang kurang lebih sama juga kita dapati bila membuka kamus Lisanul Arab. Sedangkan secara syara`, zakat itu bermakna bagian tertentu dari harta yang dimiliki yang telah Allah wajibkan unutk diberikan kepada mustahiqqin (orang-orang yang berhak menerima zakat). Lihat Fiqhuz Zakah karya Syeikh Dr. Yusuf Al-Qaradawi jilid 1 halaman 38. Kata zakat di dalam Al-Quran disebutkan 32 kali. 30 kali dengan makna zakat dan dua kali dengan konteks dan makna yang bukan zakat. 8 dari 30 ayat itu turun di masa Mekkah dan sisanya yang 22 turun di masa Madinah. (lihat kitab Al-Mu`jam Al-Mufahras karya Ust. Muhammad fuad Abdul Baqi). Sedangkan Imam An-Nawawi pengarang kitab Al-Hawi mengatakan bahwa istilah zakat adalah istilah yang telah dikenal secara `urf oleh bangsa Arab jauh sebelum masa Islam datang. Bahkan sering disebut-sebut dalam syi`ir-syi`ir Arab Jahili sebelumnya. Hal yang sama dikemukakan oleh Daud Az-Zhahiri yang mengatakan bahwa kata zakat itu tidak punya sumber makna secara bahasa. Kata zakat itu merupakan `urf dari syariat Islam.

B. Perbedaan Antara Zakat, Infaq dan Shadaqah

Kata shadaqah makna asalnya adalah tahqiqu syai`in bisyai`i, atau menetapkan / menerapkan sesuatu pada sesuatu. Dan juga berasal dari makna membenarkan sesautu. Meski lafaznya berbeda, namun dari segi makna syar`i hampir-hampir tidak ada perbedaan makna shadaqah dengan zakat. Bahkan Al-quran sering menggunakan kata shadaqah dalam pengertian zakat. Allah SWT berfirman : Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.? (QS. At-Taubah :103).

Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah. (QS.At-Taubah : 58).
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah : 60).

Rasulullah SAW dalam hadits pun sering menyebut shadaqah dengan makna zaakt. Misalnya hadits berikut : Harta yang kurang dari lima wasaq tidak ada kewajiban untuk membayar shadaqah (zakat). (HR. Bukhari Muslim). Begitu juga dalam hadits yang menceritakan mengiriman Muaz bin Jabal ke Yaman, Rasulullah SAW memberi perintah,"beritahu mereka bahwa Allah mewajibkan mereka mengeluarkan shadaqah (zakat) dari sebagian harta mereka".

Sehingga Al-Mawardi mengatakan bahwa shadaqah itu adalah zakat dan zakat itu adalah shadaqah. Namanya berbeda tapi maknanya satu. (lihat Al-ahkam As-Sulthaniyah bab 11). Bahkan orang yang menjadi Amil zakat itu sering disebut dengan Mushaddiq, karean dia bertugas mengumpulkan shadaqah (zakat) dan membagi-bagikannya.

Kata shadaqah disebutkan dalam Al-Quran sebanyak 12 kali yang kesemuanya turun di masa Madinah. Hal yang membedakan makna shadaqah dengan zakat hanyalah masalah `urf, atau kebiasaan yang berkembang di tengah masyarakat. Sebenarnya ini adalah semcam penyimpangan makna. Dan jadilah pada hari ini kita menyebut kata shadaqah untuk yang bersifat shadaqah sunnah / tathawwu`. Sedangkan kata zakat untuk yang bersifat wajib. Padahal ketika Al-Quran turun, kedua kata itu bermakna sama. Hal yang sama juga terjadi pada kata infaq yang juga sering disebutkan dalam Al-Quran, dimana secara kata infaq ini bermakna lebih luas lagi. Karena termasuk di dalamnya adalah memberi nafkah kepada istri, anak yatim atau bentuk-bentuk pemberian yang lain. Dan secara `urf, infaq pun sering dikonotasikan dengan sumbangan sunnah.

C. Kewajiban Untuk Mengeluarkan Zakat

Ada dua kemungkian orang tidak mengeluarkan zakat. Kemungkinan pertama, adalah orang yang enggan bayar zakat, namun tidak sampai mengingkari adanya kewajiban zakat dalam syariat Islam. Kemungkinan yang kedua, sudah lebih parah, yaitu mengingkari eksistensi adanya syariat zakat dalam hukum Islam. Maka sanksi bagi kasus kedua adalah lepasnya status keislaman dan halal darahnya. Awal para shahabat pun memandang bahwa kaum yang tidak mau bayar zakat sepeninggal Rasulullah SAW itu tidak perlu dibunuh atau tidak perlu diperangi. Namun Abu Bakar melihat kasus itu lebih dalam dan menemukan bahwa pangkal persoalannya bukan semata-mata curang atau menghindar, melainkan sudah sampai kepada level pengingkaran adanya syariat zakat itu sendiri. Hal itu dijelaskan di dalam hadits berikut ini :

Dari Abi Hurairah ra bahwa ketika Rasulullah SAW wafat dan Abu Bakar menjadi khalifah, sebagian orang orang arab menjadi kafir. Umar bertanya,”Mengapa Anda memerangi mereka ? Padahal Rasulullah SAW telah bersabda,”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan La Ilaaha Illallah, yang telah mengucapkannya maka terlindung dariku harta dan jiwanya dan hisabnya kepada Allah SWT ?”. Abu Bakar menjawab,”Demi Allah, aku pasti memerangi mereka yang membedakan antara shalat dan zakat. Sebab zakat adalah hak harta. Demi Allah, seandainya mereka menolak membayar seekor kambing muda yang dahulu pernah dibayarkannya kepada Rasulullah SAW, pastilah aku perangi”. Umar berkata,”Demi Allah, hal ini tidak lain karena Allah SWT telah melapangkan dada Abu Bakar dan baru aku tahu bahwa hal itu adalah benar”. (HR. Bukhari Muslim Abu daud Tirmizi Nasai Ahmad)

Setelah mengetahui duduk persoalannya, barulah para shahabat lainnya menyadari perbedaan mendasar dua kasus itu. Maka berangkatlah pasukan yang memerangi pada ‘jahid’ zakat. Tindakan Abu Bakar itu bisa dikatakan menjadi kesepakatan para shahabat di kala itu.

D. Kriteria

Tidak semua jenis harta diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya. Berdasarkan nash-nash Al-Quran dan Sunnah, para ulama telah menyusun kriteria jenis harta yang wajib dizakati. Bila harta seseorang tidak memiliki kriteria yang telah ditetapkan, maka tidak ada kewajiban zakat. Meski pun secara nominal lebih tinggi. Namun yang menjadi ukuran apakah harta yang dimiliki oleh seseorang itu wajib dikeluarkan zakat atau tidak, bukan sekedar nilainya (nishab), tetapi masih ada sisi-sisi lainnya serta kriteria-kriteria tertentu yang harus dipenuhi.
Paling tidak ada 5 kriteria utama yang telah disepakati oleh para ulama, yaitu :
1. Harta itu dimiliki secara sempurna (al-milkut-taam)

Yang dimaksud dengan harta yang dimiliki secara sempurna adalah seseorang memiliki harta secara sepenuhnya dan dia mampu untuk membelanjakannya atau memakainya, kapan pun dia mau melakukannya. Hal ini berbeda dengan seorang yang memiliki harta dengan tidak secara sempurna. Yaitu dimana seseorang secara status memang menjadi pemilik, namun dalam kenyataannya, harta itu tidak sepenuhnya dikuasainya.

Ketidak-sempurnaan kepemilikan bisa juga berbentuk harta yang tidak dimiliki oleh orang tertentu, melainkan dimiliki secara kolektif oleh sekumpulan orang yang tidak bisa ditentukan jati dirinya satu per satu. Kepemilikan atas suatu harta secara kolektif tanpa diketahui secara pasti hak masing-masing, telah menggugurkan pengertian kepemilikan secara sempurna.

Contoh-contoh lebih detail dari harta yang dimiliki secara tidak sempurna antara lain :
a. Uang yang dipinjam dan tidak jelas statusnya, akan kembali atau tidak.
Misalnya A memiliki uang bermilyar, tetapi uangnya dipinjam pihak lain (B). Namun ternyata B kemudian menghabiskan uang itu, tanpa pernah tahu apakah dia bisa membayarkannya suatu hari atau tidak. Secara hukum, uang yang dipinjam itu milik A, namun karena tidak jelas lagi apakah uangnya itu akan kembali atau tidak, maka kepemilikian uang itu oleh A disebut kepemilikan yang tidai sempurna. Maka dalam hal ini, A tidak diwajibkan membayar zakat atas uang yang tidak lagi dimilikinya secara sempurna itu.

b. Harta yang telah diwaqafkan untuk umat

Bentuk lain dari syarat yang pertama ini adalah bila ada harta yang tidak ada atau tidak jelas pemiliknya secara pasti, maka harta itu tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Misalnya harta yang telah diwaqafkan untuk umat Islam. Harta waqaf itu tidak dimiliki oleh perorangan, tetapi menjadi milik bersama umat Islam, maka tidak ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat dari harta yang telah diwaqafkan.

Namun dalam masalah waqaf ini, ada juga jenis waqaf yang lebih spesifik dan berbeda dengan yang biasa kita kenal. Ada pihak tertentu yang mendapatkan harta waqaf yang bersifat pribadi, dimana pihak pemberi waqaf memberikan harta kepada seseorang sebagai harta waqaf yang dimiliki secara sempurna. Misalnya, seorang kaya mewaqafkan rumah untuk seorang ustadz agar dijadikan tempat tinggal khusus untuk ustadz itu saja. Maka status rumah itu bukan waqaf untuk umat, melainkan waqaf untuk seseorang. Dalam hal ini, rumah itu dikatakan telah dimiliki secara sempurna.

c. Harta untuk pihak tertentu secara missal

Demikian juga harta yang dikumpulkan untuk korban bencara alam, fakir miskin atau anak yatim. Harta seperti ini bukan lagi milik perorangan atau pihak tertentu, melainkan telah menjadi hak mereka secara umum. Harta yang seperti ini pun termasuk yang tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Sebab dalam hal ini, belum ditetapkan jati diri tiap orang dan berapa nilai yang mereka miliki. Namun bila harta itu telah dibagikan per individu, dimana masing-masing orang telah menerima secara sepenuhnya harta untuk mereka, maka barulah harta itu dikatakan telah dimiliki secara sempurna.

d. Harta milik Negara

Termasuk dalam kriteria ini adalah harta yang dimiliki oleh negara. Harta itu berarti tidak dimiliki oleh perorangan, melainkan menjadi harta bersama milik rakyat. Sehingga tidak ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat atas harta milik negara. Dalam hal ini, harta milik negara tidak bisa dikatakan milik orang per orang atau milik jati diri tertentu, melainkan dimiliki secara kolektif oleh rakyat suatu negara.

e. Harta pinjaman

Dan yang paling jelas dari semua hal di atas, harta pinjaman dari pihak lain termasuk dalam kriteria ini. Bila seseorang dipinjami harta oleh pihak lain, jelas sekali bahwa dia bukanlah pemilik harta pinjaman itu. Maka si peminjam sama sekali tidak punya kewajiban untuk mengeluarkan zakatnya. Sebab si peminjam bukanlah pemilik harta itu.

2. Harta itu tumbuh (an-nama')

Syarat kedua adalah bahwa harta itu adalah harta yang tumbuh atau bisa ditumbuhkan, harta itu tidak mati atau tidak diam. Dalam bahasa kita sekarang ini, harta itu dimiliki pokoknya namun bersama dengan itu, harta itu bisa memberikan pemasukan atau keuntungan bagi pemiliknya.
Di antara contoh harta yang termasuk tumbuh adalah :

Uang yang diinvestasikan dalam sebuah perdagangan. Dimana perdagangan itu sendiri akan memberikan keuntungan, sementara uang yang menjadi modalnya tetap utuh.
Harta berbentuk usaha pertanian, dimana seiring dengan berjalannya waktu, para petani akan memanen hasil dari bibit yang ditanamnya. Pertumbuhan ini akan melahirkan konsekuensi kewajiban zakat. Sedangkan bila bibit tumbuhan itu tidak ditanam, maka tidak akan ada pertumbuhan, maka tidak ada kewajiban zakat. Demikian juga dengan harta yang dimiliki oleh seorang peternak, dimana awalnya dia hanya memiliki anak sapi, kemudian dipelihara sedemikian rupa hingga anak sapi itu tumbuh menjadi sapi dewasa. Anak kambing yang dipelahara kemudian tumbuh menjadi kambin dewasa, anak ayam yang dipelihara kemudian tumbuh menjadi ayam dewasa. Disini jelas sekali ada unsur pertumbuhan. Atau pertumbuhan itu bukan pada badannya, tapi pada jumlahnya, dimana ternak-ternak itu melahirkan anak sehingga semakin hari jumlahnya tumbuh menjadi semakin banyak. Semua fenomena pertumbuhan inilah yang mewajibkan zakat.

Bahkan para ulama mengatakan bahwa uang tunai itu dianggap sebagai harta yang tumbuh. Meskipun pemiliknya mendiamkannya saja atau menyimpannya di dalam lemari. Sebab uang tunai itu sudah berbentuk harta yang siap langsung diinvestasikan dan diputar sebagai modal, kapan saja dan dimana saja. Berbeda dengan harta dalam bentuk tanah atau rumah yang bukan dana segar. Benda-benda itu tidak bisa secara langsung dianggap tumbuh, kecuali bila disewakan. Karena itulah para ulama mewajibkan zakat atas uang tunai, meski disimpan oleh pemiliknya. Sedangkan rumah atau tanah kosong yang dimiliki namun tidak memberikan pemasukan apapun kepada pemiliknya, tidaklah diwajibkan zakat.
3. Harta itu memenuhi jumlah standar minimal (nisab)

Bila suatu harta belum memenuhi jumlah tertentu, maka belum ada kewajiban zakat atas harta itu. Namun sebaliknya, bila jumlahnya telah sampai pada batas tertentu atau lebih, barulah ada kewajiban zakat atasnya. Jumlah tertentu ini kemudian disebut dengan istilah nisab. Namun nisab masing-masing jenis harta sudah ditentukan langsung oleh Rasulullah SAW. Dan kalau dikomparasikan antara nisab jenis harta tertentu dengan nisab lainnya dari nilai nominalnya, maka sudah pasti tidak sama. Misalnya, nishab zakat emas adalah 85 gram. Sedangkan nisab zakat beras adalah 520 kg. Bila dinilai secara nominal, harga 85 gram emas itu berbeda dengan harga 520 kg beras. Kita tidak bilang bahwa ketentuan nisab ini tidak adil. Sebab yang menentukannya Rasulullah SAW sendiri. Dan kita perlu sadari, bahwa jenis harta itu memang berbeda-beda, maka wajar pula bila nilai nominal nisabnya pun berbeda pula.
Daftar lengkap nisab masing-masing jenis harta, bila anda lihat pada tabel di bawah.

4. Harta itu telah dimiliki untuk jangka waktu tertentu (haul)

Para ulama telah menetapkan bahwa bila seseorang memiliki harta dalam waktu singkat, maka dia tidak bisa dikatakan sebagai orang kaya. Sehingga ditetapkan harus ada masa kepemilikan minimal atas sejumlah harta, agar pemiliknya dikatakan sebagai orang yang wajib membayar zakat. Yang penting untuk diketahui, bahwa batas kepemilikan ini dihitung berdasarkan lama satu tahun hijriyah. Bukan dengan hitungan tahun masehi. Dan sebagaimana diketahui, bahwa jumlah hari dalam setahun dalam kalender hijriyah lebih sedikit dibandingkan kalender masehi. Bila seseorang pada tanggal 15 Rajab 1425 H mulai memiliki harta yang memenuhi syarat wajib zakat, maka setahun kemudian pada tanggal 15 rajab 1426 H dia wajib mengeluarkan zakat atas harta itu.

5. Harta itu telah melebihi kebutuhan dasar

Sebagian ulama menambahkan syarat lainnya, yaitu bahwa sebuah harta baru diwajibkan untuk dizakatkan, manakala pemiliknya telah terpenuhi hajat dasarnya atas harta itu. Sebagaimana ditetapkan oleh mazhab Al-Hanafiyah dalam kebanyakan kitab mereka.
Sebab bila seseorang yang punya harta banyak, namun dia juga punya hajat dasar atau tanggungan yang lebih banyak lagi, maka pada hakikatnya dia justru orang yang kekurangan.
Yang dimaksud dengan kebutuhan atau hajat dasar tentu saja relatif, namun bukan berarti setiap orang berhak menentukan sendiri apa kebutuhannya. Lagi pula, bukan berarti setiap yang diinginkan atau menjadi selera seseorang, bisa dimasukkan ke dalam kategori kebutuhan pokok. Tidak demikian pengertiannya.Tentu bukan perbuatan yang benar bila seorang yang terbiasa hidup enak di kawasan elit, makan enak di restoran mahal bisa saja dianggap sebagai hajat dasar. Kemana-mana naik pesawat kelas utama buat sebagian kalangan memang bisa dianggap hajat pokok, atau punya mobil mewah, pembantu 12 orang, satpam rumah 12 orang, bisa saja diakui sebagai hajat pokok. Namun tentu saja bukan itu yang dimaksud dengan kriteria ini.

Yang dimaksud adalah kebutuhan yang memang benar-benar mendasar buat seorang manusia untuk bisa menyambung hidupnya. Misalnya, kebutuhan untuk makan dan mengisi perutnya, kebutuhan untuk bisa tertutup auratnya dengan sehelai pakaian, kebutuhan untuk bisa berlindung di bawah sebuah atap rumah, meskipun seadanya atau mengontrak murah. Sekedar dirinya bisa terlindungi dari terik matahari, curah hujan atau tusukan dingin angin musim dingin.

6. Pemiliknya bukan orang yang selamat dari hutang

Sebagian ulama menambahkan syarat terakhir, yaitu bila seseorang memiliki harta yang memenuhi kriteria di atas, namun dirinya sendiri punya hutang kepada pihak lain, maka dia tidak lagi punya kewajiban membayar zakat. Namun yang dimaksud dengan hutang disini bukan sembarang hutang. Maksudnya adalah hutang yang besar dimana bila hartanya itu dikurangi dengan nilai kewajiban yang harus dibayarkan, maka hutang itu membuat harta yang dimilikinya tidak lagi memenuhi nisab zakatnya. Dalam keadaan demikan, maka gugurlah kewajiban zakat baginya. Sebab pada hakikatnya orang itu sebenarnya tidak punya harta yang memenuhi nisab zakat. Sehingga bagaimana mungkin dia diwajibkan untuk membayar zakat?. Sedangkan hartanya yang banyak itu, seolah-olah harta pinjaman, bukan miliknya yang hakiki.

B. Jenis-jenis Zakat

Untuk mudahknya, kami lampirkan table jenis zakat dilengkapi dengan ketentuan nishab, waktu pembayaran dan besarnya yang dikeluarkan. Dan detailnya akan disampaikan dalam pertemuan-petemuan berikutnya Sedangkan untuk zakat peternakan, belum kami tampilkankan karena memiliki tabel tersendiri yang cukup rumit untuk disatukan dalam tabel yang sama.

NO

JENIS ZAKAT

YANG DIZAKATI

NISHAB

WAKTU MEMBAYAR

BESAR ZAKAT

1

FITHRAH

Setiap jiwa/kepala semua muslim besar kecil, pria wanita, tua muda

-

malam 1 syawal, boleh 2-3 hari se sebelumnya atau sejak awal Ramadhan

1 sha` = 2,159 kg beras

2

EMAS & PERAK

Yang disimpan bukan yang sering dikenakan

85 gram emas
595 gram perak

1 haul (setelah dimiliki slama satu tahun hijriah meski di tengahnya pernah berkurang

2,5 %

3

PERDAGANGAN

Uang/modal yang berputar, bukan asset (bangunan, perabot dll tidak termasuk)

seharga 85 gr emas / 595 gr perak

1 haul (setelah dimiliki selama 1 tahun qamariyah, meski ditengahnya pernah berkurang)

2,5 %

4

TABUNGAN

Semua bentuk tabungan baik tunai, rekening, piutang, chek, giro dll)

seharga 85 gr emas / 595 gr perak

1 haul (setelah dimiliki selama 1 tahun qamariyah, meski ditengahnya pernah berkurang)

2,5 %

5

PERTANIAN

Hasil panen dikurangi biaya perawatan (pupuk, irigasi, obat dll)

5 wasaq = 653 kg gabah = 520 kg beras

setiap panen

5 % jika diairi atau 10 % jika dgn air hujan

6

INVESTASI

Hasil dari harta yang investasikan (sewa mobil, kontrakan rumah, saham dll), nilai investasinya tidak termasuk

5 wasaq = 653 kg gabah = 520 kg beras

setiap mendapat hasil/setoran

5 % dari hasil bersih 10 % dari hasil kotor

7

PERTAMBANGAN

Hasil tambang darat (minyak, emas, batubara) & laut (mutiara dll)

-

saat mendapat

20 %

8

HADIAH

hadiah, sayembara, kuis

-

saat mendapat

20 %

9

PROFESI

1. Penghasilan Kotor (gaji, honor, komisi, bonus, THR dll)
2. Penghasilan Bersih (setelah dipotong dengan kebutuhan pokok, hutang dll)

jumlah penghasilan setahun seharga 5 wasaq = 520 kg beras

Tiap menerima penghasilan

2,5 %

A. Dasar Masyru'iyah Zakat Tanaman

Dasar masyru'iyah zakat tanaman adalah firman Allah SWT di dalam Al-Quran Al-Kariem berikut ini :

Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa dan tidak sama . Makanlah dari buahnya bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya ; dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.(QS. Al-An'am : 141).

Yang dimaksud dengan tunaikan haknya dalam ayat di atas adalah kewajiban untuk mengeluar zakat atas hasil panennya. Selain itu juga ada firman Allah SWT lainnya :

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.(QS. At-Taubah : 34)

Sedangkan dari sunnah nabawiyah, ada hadits berikut ini :

Dari Ibnu Umar ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Tanaman yang disiram oleh langit atau mata air atau atsariyan, zakatnya adalah sepersepuluh. Dan tanaman yang disirami zakatnya setengah dari sepersepuluh". (HR. Jamaah kecuali Muslim - Nailul Authar 4/139)

Yang dimaksud dengan 'atsariyan' adalah jenis tanaman yang hidup dengan air dari hujan atau dari tanaman lain dan tidak membutuhkan penyiraman / pemeliharaan oleh manusia.

Dari Jabir bin Abdilah ra dari Nabi SAW,"Tanaman yang disirami oleh sungai dan mendung (hujan) zakatnya sepersepuluh. Sedangkan yang disirami dengan ats-tsaniyah zakatnya setengah dari sepersepuluh.. (HR. Ahmad, Muslim, An-Nasai dan Abu Daud - Nailul Athar)

Yang dimaksud dengan ats-tsaniyah adalah unta yang membawa air dari sumur dan digunakan untuk menyirami tanaman.

B. Syarat Zakat Tanaman

Tidak semua jenis tanaman wajib dikeluarkan zakatnya. Hanya jenis tanaman tertentu dengan kriteria tertentu yang diwajibkan zakat dan menjadi kesepakatan para ulama. Sebagian lainnya tetap masih menjadi perselisihan para ulama tentang kewajiban zakatnya.
Ada beberapa syarat yang bersifat umum tentang sifat tanaman yang wajib dizakati :

1. Tanaman itu sengaja ditanam untuk diambil hasil panennya.

Maka tanaman yang tumbuh dengan sendirinya namun menghasilkan pemasukan, tidaklah ada kewajiban untuk mengeluarkan zakatnya. Diantaranya hasil seperti kayu bakar, rumput atau pun tanaman liar lainnya yang tumbuh begitu saja, tanpa secara sengaja ditanami oleh pemiliknya untuk didapat hasilnya.

2. Berupa hubub dan tsimar
Yang dimaksud dengan hubub adalah jenis tanaman yang berupa bulir seperti bulir padi, gandum dan sejenisnya. Sedangkan yang dimaksud dengan tsimar semacam kurma, zaitun dan zabib. Sedangkan buah-buahan segar seperti apel atau delima dan sejenisnya tidak termasuk yang wajib dizakti. Demikian juga dengan sayuran dan kubis juga tidak ada kewajiban zakatnya. Ini adalah pendapat kalangan mazhab Malikiyah.

3. Mencapai Nisab
Tanaman itu minimal telah mencapai nisahbnya ketika dipanen. Dan nisabnya adalah seberat 5 wasaq sebagaimana akan diterangkan nanti.

4. Tanaman tersebut hanya terbatas pada makanan pokok manusia
Seperti gandum, padi, jagung, himsh (jenis kacang), kacang 'adas, dukhn (jewawut) dan lainnya. Sedangkan tanaman yang selain untuk dijadikan makanan pokok, tidak termasuk yang wajib dikeluarkan zakatnya. Ini adalah pendapat kalangan mazhab Asy-syafi'iyah.

5. Tanaman itu dimiliki oleh seseorang tertentu
Maksudnya bahwa tanaman itu ada pemiliknya, bukan tanaman liar tidak bertuan. Maka tanaman yang dimiliki oleh negara dan tidak dimiliki oleh individu tertentu, tidka termasuk yang wajib dikeluarkan zakatnya. Demikian juga tanaman waqaf milik umat, tidak ada kewajiban zakat atasnya. Ini pun merupakan pendapat kalangan mazhab Asy-syafi'iyah.

6. Tanaman itu tanah disimpan untuk waktu yang lama
Tanaman yang seperti padi, gandum, jagung, kedelai dan sejenisnya termasuk kriteria in. Tanaman itu tahan untuk disimpan lama dan tidak mengalami pembusukan dengan cepat. Sebaliknya yang bisa dengan cepat mengalami pembusukan seperti buah-buahan segar semisal anggur, semangka, pepaya jeruk dan lainnya, tidak ada kewajiban zakat atasnya. Ini adalah pendapat kalangan mazhab Al-Hanabilah.

C. Nisah Zakat Tanaman Ada beberapa hadits yang terkait dengan nisab atau batasan jumlah minimal tanaman yang wajib dibayarkan zakatnya. Yaitu bila jumlah panennya telah mencapai 5 wasaq.

عن أبي سعيد الخضري : ليس فيما دون خمسة أوسق صدقة (رواه الجماعة )

Tidak ada zakat untuk tanaman yang kurang dari 5 wasaq(HR. Jamaah - Nailul Authar)

Tapi berapakah 5 wasaq itu?
Istilah watsaq pada hari ini kurang dikenal, karena manusia telah menggunakan jenis ukuran yang berubah-ubah sepanjang masa. Di masa Rasululllah SAW, watsaq itu digunakan untuk mengukur berat suatu makanan. Jadi watsaq itu adalah satuan ukuran berat.
1 wasaq itu sama dengan 60 shaa'. Jadi 5 wasaq itu sama dengan 5 x 60 = 300 shaa'. Jumhur ulama kemudian menyebutkan bahwa 300 shaa' itu sama dengan 653 kg.
D. Waktu Untuk Membayar Zakat Tanaman
Berbeda dengan umumnya zakat yang lain, tanaman itu dikeluarkan zakatnya tidak setiap tahun, melainkan setiap kali dipanen atau diambil hasilnya. Di dalam al-Quran secara tegas telah disebutkan tentang hal itu.

وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa dan tidak sama . Makanlah dari buahnya bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya ; dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.(QS. Al-An'am : 141).

Tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya, adalah lafadz yang secara tegas menyebutkan bahwa pada hari dimana seseorang memanen hasil tanamannya, maka di hari itu juga harus ditunaikan zakatnya.

Pertemuan Keempat

Zakat Perniagaan

A. Ketentuan dalam Zakat Perdagangan

Sebuah perdagangan yang telah memenuhi ketentuan yang akan kami terangkan berikut ini, maka ada kewajiban untuk mengeluarkan zakatnya.

1. Yang Dizakati adalah modal yang berputar

Zakat perdangan dihitung bukan dari asset yang digunakan untuk perdagangan atau dari profit yang diterima, namun dari modal yang berputar untuk membeli barang yang akan diperdangankan.

Dengan demikian, kalau seseorang buka toko kelontong misalnya, maka asset seperti bangunan toko, lemari, rak, cash register, kulkas, timbangan dan semua perlengkapan yang ada di dalam toko, tidak termasuk yang harus dihitung untuk dikeluarkan zakatnya.

Yang harus dikeluarkan zakatnya adalah harta yang dikeluarkan untuk membeli stok barang di toko Anda itu.

2. Modal Berputar itu harus sudah melewati nisab.

Nisab zakat perdagangan adalah harga 85 gram emas. Bila uang yang keluar untuk membeli barang yang akan dijual lagi itu telah mencapai nilai angka seharga 85 gram emas, maka sudah cukup nishabnya.

Misalnya, harga emas sekarang ini Rp. 100.000,- per gram. Maka nishab zakat perdagangan adalah 85 gram x Rp. 100.000,- = Rp. 8.500.000,-.

3. Perdagangan itu telah berlangsung selama satu tahun hijriyah.

Perhitungan haul dalam masalah zakat atau yang dimaksud dengan satu tahun adalah berdasarkan tahun qamariyah atau tahun hijriyah. Bukan dengan tahun syamsiyah atau yang sering dikenal dengan tahun masehi.

4. Besar zakat yang dikeluarkan ada 2,5 % dari modal yang berputar pada saat hendak membayar zakat, bukan dari besar kecilnya keuntungan atau nilai rata-rata fluktuasi naik turunnya modal.

5. Pembayarannya dilakukan tiap tahun (haul) hijriyah.

Zakat Hewan Ternak

Dalam bahasa arab, hewan ternak disebut dengan kata Al-An'am. Kata ini juga merupakan nama salah satu surat di dalam Al-Quran yang berada pada urutan ke-6. Dengan demikian, zakat ini hanya terbatas pada hewan yang diternakkan, sedangkan hewan peliharaan lainnya yang bukan untuk diternakkan, seperti anjing atau kucing atau burung peliharaan, tidak termasuk dalam rangkaian zakat ini.

Bahkan orang arab membatasi kata Al-An'am ini hanya pada tiga jenis hewan saja, yaitu unta, sapi (termasuk kerbau) dan kambing. Masing-masing dengan segala jenisnya.
A. Kriteria Hewan Ternak Yang Wajib Dizakati

1. Sudah Mencapai Nisab

Tidak semua orang yang memiliki hewan ternak wajib mengeluarkan zakat. Hanya mereka yang sudah memiliki jumlah hewan hingga bilangan tertentu saja yang wajib berzakat. Seorang yang baru punya seekor dua ekor hewan ternak tentu tidak dikenakan zakat.

Umumnya para ulama membagi hewan ternak menjadi tiga macam, yaitu unta, sapi (kerbau) dan kambing. Sedangkan ketentuan nisab masing-masing hewan ternak itu ditetapkan langsung dengan nash. Untuk nisab unta, ada hadits yang sangat kuat dan disepakati semua ulama. Sedangkan nisab sapi, ada beberapa nash yang agak saling berbeda, namun kami hanya memberikan berdasarkan nash yang paling kuat saja. Demikian juga dengan dasar penentuan nisab zakat kambing

.
a. Tabel Nisab Zakat Unta

Nisab

Besar Zakatnya

Keterangan :

  • syaah adalah kambing betina
  • bintu makhadh adalah unta betina genap berusia 1 tahun masuk tahun ke-2.
  • bintu labun adalah unta betina genap berusia 2 tahun masuk tahun ke-3
  • hiqqah adalah unta betina genap berusia 3 tahun masuk tahun ke-4
  • jaza'ah adalah unta betina genap berusia 4 tahun masuk tahun ke-5

5 - 9

1 ekor syaah

10 - 14

2 ekor syaah

15 - 19

3 ekor syaah

20 - 24

4 ekor syaah

25 - 35

1 ekor bintu makhadh

36 - 45

1 ekor bintu labun

46 - 60

1 ekor hiqqah

61 - 75

1 ekor jaza'ah

76 - 90

2 ekor bintu labun

91 - 120

3 hiqqah

121 - 129

3 banat labun / 2 hiqqah dan seekor syaah (hanafiyah)

130 - 134

2 hiqqah dan 2 syaah (hanafiyah)

135 - 139

2 hiqqah dan 3 syaah (hanafiyah)

140 - 144

2 hiqqah dan 4 syaah (hanafiyah)


b. Tabel Zakat Hewan Sapi / Kerbau

Nisab

Besar Zakatnya

Keterangan

  • tabii' adalah sapi betina atau jantan yang sudah genap berusia 1 tahun dan masuk tahun ke-2.
  • musinnah adalah sapi betina yang sudah genap berusia 2 tahun dan masuk tahun ke-3.

30 - 39

1 ekor tabii'

40 - 59

1 ekor musinnah

60 - 69

2 ekor tabii'

70 - 79

1 ekor tabii' dan 1 ekor musinnah

80 - 89

2 ekor musinnah

90 - 99

3 tabii'

100 - 109

1 ekor musinnah dan 2 tabii'

110 - 119

2 ekor musinnah dan 1 ekor tabii'

120 - ...

3 ekor musinnah atau 4 ekor tabii'

c. Tabel Zakat Hewan Kambing

Nisab

Besar Zakatnya

Keterangan

Demikian seterusnya, setiap bertambah 100 ekor ada kewajiban zakat berupa 1 ekor kambing.

1 - 39

tidak wajib zakat

40 - 120

1 ekor kambing betina

121 - 200

2 ekor kambing betina

201 - 399

3 ekor kambing betina

400 - 499

4 ekor kambing betina

500 - 599

5 ekor kambing betina

Dari tabel-tabel di atas jelas bahwa harta zakat yang dikeluarkan dari harta yang berupa hewan ternak adalah hewan juga. Dan memang demikianlah ketentuan yang disepakati oleh para ulama jumhur, kecuali pendapat Al-Hanafiyah yang membolehkan zakat dengan uang yang senilai dengan harga hewan itu.
Sedangkan ketentuan dan syarat yang harus dipenuhi oleh hewan yang dijadikan zakat antara lain :

  • Tidak ada 'aib atau cacat.

Hewan itu harus sehat tanpa cacat pisik. Tidak patah kakinya, tidak kurus kering, tidak tua sekali hingga giginya tanggal semua. Kecuali bila semua hewan yang dimilikinya punya aib yang sama dan seragam.

  • Hewan itu harus betina.

Kecuali pada zakat sapi dimana disebutkan zakatnya berupa tabii'. Tabii' sendiri adalah nama yang digunakan untuk menyebutkan sapi baik jantan atau betina, dimana usianya sudah genap 1 tahun masuk tahun ke-2.

  • Sudah mencapai usia tertentu

Pada tabel di atas, kita temukan beberapa istilah khas sebagai penyebutan jenis hewan yang sudah memasuki usia tertentu.

  • Kondisinya pertengahan

Petugas zakat berhak memilih diantara hewan-hewan itu sebagai zakat dengan melihat pada kondisinya. Yang dipilih adalah hewan yang kondisinya rata-rata, tidak yang terlalu gemuk tapi bukan yang paling kurus. Namun dipilih yang keadaannya pertengahan.
2. Sudah Melewati Masa Kepemilikan Satu Haul

Zakat hewan baik sapi, unta atau kambing barulah dikeluarkan zakatnya, bila telah dimiliki selama setahun, yaitu terhitung sejak jumlahnya telah mencapai nisab. Pada saat seseorang memiliki ternak sejumlah nisab, pada hari itulah dijadikan patokan awal hari perhitungan.
Setahun ke depan, sesuai dengan hitungan tahun hijriyah, bila jumlahnya masih di atas jumlah nisab yang ditetapkan, maka wajiblah atasnya mengeluarkan zakat hewan. Dan jumlah hewan yang dizakatkan disesuaikan dengan jumlah hewan yang dimiliki saat itu. Bukan berdasarkan apa yang dimilikinya di awal hari perhitungan.

3. Digembalakan

Maksudnya hewan ini dilepas di padang rumput, bukan hewan yang dijadikan pekerja seperti untuk membajak sawah atau dijadikan tunggangan. Atau dipelihara di dalam kandang dengan maksud akan diambil susunya, atau untuk dijadikan pembiakan, atau akan diambil dagingnya atau bagian-bagian dari tubuhnya. Sedangkan bila tujuan peternakan itu hanya untuk dijadikan hewan tunggangan, atau penarik bajak atau gerobak, maka tidak ada kewajiban zakat atas hewan itu.

4. Hewan yang jinak buat manusia bukan liar

Yang dimaksud disini adalah bahwa hewan itu adalah hewan yang sengaja dipelihara, bukan hewan-hewan liar ang tidak mau tunduk kepada pemiliknya. Sapi liar, kerbau liar atau unta liar yang hidup di alam bebas mungkin saja dimiliki, tapi hewan-hewan itu tidak bisa dijamah tangan manusia, sehingga termasuk pada kelompok hewan yang tidak harus dizakatkan.

Zakat Emas dan Tabungan

A. Zakat Emas

Emas dan perak yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah yang berbentuk simpanan. Sedangkan bila berbentuk perhiasan yang sering dipakai atau dikenakan, maka tidak termasuk yang wajib dikeluarkan zakatnya. Karena umumnya harga emas stabil dibandingkan dengan mata uang, banyak orang yang menyimpan hartanya dalam bentuk emas. Apabila emas ini dijadikan bentuk simpanan, maka wajib dikeluarkan zakatnya bila telah mencapai nishab dan haul. Bila seseorang memiliki simpanan emas seberat 85 gram atau lebih, maka jumlah itu telah mencapai batas minimal untuk terkena kewajiban membayar zakat emas.

Yang menjadi ukuran adalah beratnya, sedangkan bentuknya meskipun mempengaruhi harga, dalam masalah zakat tidak termasuk yang dihitung. Sedangkan nishab perak adalah 595 gram. Jadi bila simpanannya berbentuk perak dan beratnya mencapai jumlah itu atau lebih, maka telah wajib dikeluarkan zakatnya. Bagaimana bila emas 85 gram itu terpisah-pisah ? Sebagian sering digunakan dan sebagian lain disimpan ? Bila jumlah yang selalu menjadi simpanan ini tidak mencapai nisabnya, maka tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Karena yang wajib hanyalah yang benar-benar menjadi simpanan. Sedangkan yang dipakai sehari-hari tidak terkena kewajiban zakat.

Meskipun bila digabungkan mencapai 85 gram. Simpanan berbentuk emas bila telah dimiliki selama masa satu tahun qamariyah, barulah wajib dikeluarkan zakatnya. Yang menjadi ukuran adalah awal dan akhir masa satu tahun itu. Sedangkan bila ditengah-tengah masa itu emas itu bertambah atau berkurang dari jumlah tersebut, tidak termasuk yang diperhitungkan.
Sebagai contoh, pada tanggal 1 Sya`ban 1422 Ahmad memiliki emas seberat 100 gram. Maka pada 1 Sya`ban 1423 atau setahun kemudian, Ahmad wajib mengeluarkan zakat simpanan emasnya itu. Meskipun pada bulan Ramadhan, emas itu pernah berkurang jumlahnya menjadi 25 gram, namun sebulan sebelum datangnya bulan Sya`ban 1423, Ahmad membeli lagi dan kini jumlahnya mencapai 200 gram. Besarnya zakat yang harus dikeluarkan adalah 2,5 % dari berat emas yang terakhir dimiliki. Jadi bila pada 1 Sya`ban 1423 itu emas Ahmad bertambah menjadi 200 gram, zakat yang harus dikeluarkan adalah 200 x 2,5 % = 5 gram.

B. Zakat Tabungan

Zakat tabugnan adalah zakat harta yang disimpan baik dalam bentuk tunai, rekening di Bank, atau bentuk yang lain. Harta ini tidak digunakan untuk mendapatkan penghasilan, tetapi sekedar untuk simpanan. Bila nilainya bertambah lantaran bunga di Bank, maka bunganya itu bukan hak miliknya, sehingga bunga itu tidak termasuk yang wajib dikeluarkan zakatnya. Bunga itu sendiri harus dikembalikan kepada kepentingan masyarakat banyak.
Sedangkan bila simpanan itu berbentuk rumah, kendaraan atau benda lain yang disewakan atau menghasilkan pemasukan, maka masuk dalam zakat investasi. Dan bila uang itu dipnjamkan ke pihak lain sebagai saham dan dijadikan modal usaha, maka masuk dalam zakat perdagangan.

Sedangkan bila uang itu dipinjamkan kepada orang lain tanpa bunga (piutang) dan juga bukan bagi hasil, maka tetap wajib dikeluarkan zakatnya meski secara real tidak berada di tangan pemiliknya. Kecuali bila uang tersebut tidak jelas kedudukannya, apakah masih mungkin dikembalikan atau tidak, maka uang itu tidak perlu dikeluarkan zakatnya. Karena kepemilikannya secara real tidak jelas lagi. Meski secara status masih miliknya. Tapi kenyataannya pinjaman itu macet dan tidak jelas apakah akan kembali atau tidak.
Batas nishab zakat tabungan adalah seharga emas 85 gram. Jadi bila harga emas sekarang ini Rp. 90.000,-, maka nisab zakat tabungan adalah Rp. 7.650.000,-. Bila tabungan kita telah mencapai jumlah tersebut, maka sudah wajib untuk dikeluarkan zakatnya.
Untuk membayar zakat tabungan, diperlukan masa kepemilikan selama setahun hijriyah terhitung sejak memiliki jumlah lebih dari nishab.

Besarnya zakat yang harus dikeluarkan adalah 2,5 % dari saldo terakhir. Dan bila uang itu berupa rekening di bank konvensional, maka saldo itu harus dikurangi dulu dengan bunga yang diberikan oleh pihak bank. Karena bunga itu bukan hak pemilik rekening, sehingga pemilik rekening tidak perlu mengeluarkan zakat bunga.

Zakat Penghasilan dan Investasi

A. Zakat Profesi

1. Perbedaan Pendapat

Zakat profesi sebenarnya bukanlah zakat yang disepakati keberadaannya oleh semua ulama. Hal ini lantaran di masa lalu, para ulama tidak memandang profesi dan gaji seseorang sebagai bagian dari bentuk kekayaan. Di masa lalu, orang yang kayya itu identik dengan peternak, petani, pedagang, pemilik emas dan lainnya. Sedangkan seseorang yang bekerja pada orang lain dan menerima upah, umumnya hanyalah pembantu dengan gaji seadanya. Sehingga di masa itu tidak terbayangkan bila ada seorang pekerja yang menerima upah bisa menjadi seorang kaya.

Namun zaman memang telah berubah. Orang kaya tidak lagi selalu identik dengan petani, peternak dan pedagang belaka. Di masa sekarang ini, profesi jenis tertentu akan memberikan nilai nominal pemasukan yang puluhan bahkan ratusan kali dari hasil yang diterima seorang petani kecil. Profesi seperti lawyer (pengacara) kondang di masa kini bisa dengan sangat cepatnya memberikan pemasukan ratusan bahkan milyaran rupiah, cukup dengan sekali kontrak. Demikian juga dengan artis atau pemain film kelas atas, nilai kontraknya bisa membeli tanah satu desa. Seorang pemain sepak bola di Eropa akan menerima bayaran sangat mahal dari klub yang mengontraknya, untuk satu masa waktu tertentu. Bahkan seorang dokter spesialis dalam satu hari bisa menangani berpuluh pasien dengan nilai total pemasukan yang lumayan besar.

Sulit untuk mengatakan bahwa orang-orang dengan pemasukan uang sebesar itu bebas tidak bayar zakat, sementara petani dan peternak di desa-desa miskin yang tertinggal justru wajib bayar zakat. Maka wajah keadilan syariat Islam tidak nampak.

2. Kalangan Penentang Zakat Profesi

Para penentang keberadaan zakat profesi bukan tidak punya argumen. Sebab mereka sesungguhnya juga para ulama bahkan dari segi jumlah, mereka amat banyak, karena merupakan representasi dari pendapat umumnya para ulama sepanjang zaman. Mereka selama nyaris 14 abad tidak pernah berupaya melakukan 'penciptaan' jenis zakat baru, bukan karena tidak melihat perkembangan zaman, namun karena mereka memandang bahwa masalah zakat bukan semata-mata mengacu kepada rasa keadilan.

Tetapi yang lebih penting dari itu, zakat adalah sebuah ibadah yang tidak terlepas dari ritual. Sehingga jenis kekayaaan apa saja yang wajib dizakatkan, harus mengacu kepada nash yang shahih dan kuat dari Rasulullah SAW. Tidak boleh hanya didasarkan pada sekedar sebuah ijtihad belaka.

Selama tidak ada nash dari Rasulullah SAW, maka kita tidak punya wewenang untuk membuat jenis zakat baru. Meski demikian, para ulama ini bukan ingin menghalangi orang yang ingin bersedekah atau infaq. Hanya yang perlu dipahami, mereka menolak bila hal itu dimasukkan ke dalam bab zakat, sebab zakat itu punya banyak aturan dan konsekuensi. Sedangkan bila para artis, atlet, dokter, lawyer atau pegawai itu ingin menyisihkan gajinya sebesar 2,5 % per bulan, tentu bukan hal yang diharamkan, sebaliknya justru sangat dianjurkan. Namun janganlah ketentuan itu dijadikan sebagai aturan baku dalam bab zakat.
Sebab bila tidak, maka semua orang yang bergaji akan berdosa karena meninggalkan kewajiban agama dan salah satu dari rukun Islam. Sedangkan bila hal itu hanya dimasukkan ke dalam bab infaq sunnah, tentu akan lebih ringan dan tidak menimbulkan konsekuensi hukum yang merepotkan.

2. Aturan Dalam Zakat Profesi

Yang dikeluarkan zakatnya adalah semua pemasukan dari hasil kerja dan usaha. Bentuknya bisa berbentuk gaji, upah, honor, insentif, fee dan sebagainya. Baik sifatnya tetap dan rutin atau bersifat temporal atau sesekali.

Gaji Bersih Atau Kotor?

Di kalangan ulama yang mendukung zakat profesi, berkembang dua pendapat yang berbeda.
Pertama, kalangan yang memandang bahwa semua bentuk pemasukan harus langsung dikeluarkan 2,5 %, tanpa memandang seberapa besar kebutuhan dasar seseorang. Angka 2,5 % dari total pemasukan kotor ini menjadi tidak berarti bila dilihat secara nilai nominal. Dan dalam prakteknya, metode seperti ini tidak beda dengan pajak penghasilan, dimana di beberapa negara maju, prosentasenya bisa sangat tinggi melebihi angka 2,5 %. Maka penerapan metode pemotongan langsung dari pemasukan kotor menurut kalangan ini lebih tepat.
Kedua, kalangan yang masih memperhatikan masalah kebutuhan pokok seseorang. Sehingga zakat yang wajib dikeluarkan tidak dihitung berdasarkan pemaskan kotor, melainkan setelah dikurangi dengan kebutuhan pokok seseorang. Setelah itu, barulah dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 % dari pemasukan bersihnya.

Metode ini mengacu kepada ketetapan tentang harta yang wajib dizakatkan, yaitu bila telah melebihi Al-Hajah Al-Asliyah, atau kebutuhan paling mendasar bagi seseorang. Dalam materi pertemuan kedua, kita sudah membahas masalah ini secara lebih lengkap, silahkan merujuk kesana

Jalan Tengah Qaradawi

Ulama besar abad ini, Dr. Yusuf Al-Qaradawi dalam kitabnya, Fiqhuz-Zakah, menuliskan perbedaan pendapat ini dengan mengemukakan dalil dari kedua belah pihak. Ternyata kedua belah pihak sama-sama punya dalil dan argumen yang sulit dipatahkan, sehingga beliau memberikan jalan keluar dari sisi kasus per kasus.

Menurut beliau, bila pendapatan seseorang sangat besar dan kebutuhan dasarnya sudah sangat tercukupi, wajar bila dia mengeluarkan zakat 2,5 % langsung dari pemasukan kotornya. Sebaliknya, bila pemasukan seseorang tidak terlalu besar, sementara kewajiban untuk memenuhi nafkah keluarganya lumayan besar, maka tidak mengapa bila dia menunaikan dulu segala kewajiban nafkahnya sesuai dengan standar kebutuhan dasar, setelah itu sisa pemasukannya dizakatkan sebesar 2,5 % kepada amil zakat.

Kedua pendapat ini memiliki kelebihan dan kekuarangan. Buat mereka yang pemasukannya kecil dan sumber penghidupannya hanya tergantung dari situ, sedangkan tanggungannya lumayan besar, maka pendapat pertama lebih sesuai untuknya. Pendapat kedua lebih sesuai bagi mereka yang memiliki banyak sumber penghasilan dan rata-rata tingkat pendapatannya besar sedangkan tanggungan pokoknya tidak terlalu besar.

Nisah Zakat Profesi

Nishab zakat profesi mengacu pada zakat pertanian yaitu seharga dengan 520 kg beras. KAlau harga besar Rp. 2.500 per kilogram, maka 520 x Rp. 2.500 = Rp. 1.300.000,-. Nisab ini akan sangat bergantung kepada harga besar yang dimakan oleh seseorang.
Nishab ini adalah jumlah pemasukan dalam satu tahun. Artinya bila penghasilan seseorang dikumpulkan dalam satu tahun bersih setelah dipotong dengan kebutuhan pokok dan jumlahnya mencapai Rp. 1.300.000,- maka dia sudah wajib mengeluarkan zakat profesinya.

Ini bila mengacu pada pendapat pertama. Dan bila mengacu kepada pendapat kedua, maka penghasilannya itu dihitung secara kotor tanpa dikurangi dengan kebutuhan pokoknya. Bila jumlahnya dalam setahun mencapai Rp. 1.300.000,-, maka wajiblah mengeluarkan zakat. Waktu Pembayaran Zakat

Zakat profesi dibayarkan saat menerima pemasukan karena diqiyaskan kepada zakat pertanian yaitu pada saat panen atau saat menerima hasil.

* * *

B. Zakat Investasi
Zakat investasi biasanya berbentuk barang seperti tanah, rumah, kontrakan, mobil dan sebagainya.
1. Kriteria Yang Wajib Dizakatkan
Investasi adalah harta yang disimpan dan memberikan hasil atau pemasukan kepada pemiliknya, diluar nilai investasi itu sendiri.
Contoh harta yang termasuk investasi ini antara lain adalah :

1. Rumah yang disewakan untuk kontrakan atau rumah kost. Hotel dan properti yang disewakan seperti untuk kantor, toko, showroom, pameran atau ruang pertemuan.

2. Kendaraan seperti angkot, taxi, bajaj, bus, perahu, kapal laut, truk bahkan pesawat terbang.

3. Pabrik dan industri yang memproduksi barang-barang.

4. Lembar-lembar saham yang nilainya akan bertambah.

5. Sepetak ladang yang disewakan.

6. Hewan-hewan yang diambil manfaatnya seperti kuda sebagai penarik, atau domba yang diambil bulunya

2. Yang Wajib Dizakati Adalah Hasil Bukan Modal
Yang wajib dikeluarkan zakatnya bukan dari nilai investasi itu, tetapi pemasukan hasil dari investasi itu.
Bila berbentuk rumah kontrakan, maka uang sewa kontrakan. Bila kendaraan yang disewakan, maka uang sewanya. Bila pabrik dan industri, maka nilai produknya. Bila saham, maka nilai pertambahannya atau keuntungannya.
Karena itu pengeluaran zakatnya bukan dihitung berdasarkan perputaran tahun, tetapi berdasarkan pemasukan hasil. Kapan menerima uang masuk, maka dikeluarkan zakatnya.
3. Dikurangi dengan Kebutuhan Pokok
Harta investasi yang dikeluarkan zakatnya adalah hasil pemasukan dari investasi itu setelah dikurangi dengan kebutuhan pokok. Ini adalah salah satu pendapat yang cocok diterapkan kepada mereka yang pemasukannya relatif kecil, sedangkan kehidupannya sangat tergantung pada investasi ini.
Jadi pengeluaran zakatnya bukan pemasukan kotor, tetapi setelah dikurangi dengan pengeluaran kebutuhan pokoknya.
Namun ada juga pendapat yang mengatakan bahwa yang harus dikeluarkan zakatnya adalah pemasukan kotornya. Pendapat ini agaknya lebih cocok bagi pemilik investasi yang besar dan mendatangkan keuntungan berlimpah sehingga pemiliknya hidup berkecukupan.
4. Nishab Zakat Investasi
Nishab zakat investasi mengikuti nishab zakat pertanian, yaitu seharga 520 kg beras tiap panen. Bila harga 1 kg besar Rp. 2.500, maka 520 kg x Rp. 2.500,-. Hasilnya adalah Rp. 1.300.000,-.
Para ulama berpendapat bahwa nishab zakat investasi adalah jumlah penghasilan bersih selama setahun, meski pemasukan itu terjadi tiap waktu. Bila nilai total memasukan bersih setelah dikurangi dengan biaya operasional melebihi Rp. 1.300.000,-, wajib dikeluarkan zakatnya.
5. Waktu Membayarnya
Berdasarkan perbedaan penghitungan nishab oleh para ulama, maka waktu pembayarannnya pun dibedakan.
Bila menganut pendapat pertama, maka zakatnya dikeluarkan saat menerima setoran. Dan bila menganut pendapat kedua, maka memayar zakatnya tiap satu tahun atau haul, yaitu hitungan tahun dalam sistem hijriyah.
6. Besarnya Yang Harus Dikeluarkan
Para ulama mengqiyaskan zakat investasi ini dengan zakat pertanian yaitu antara 5 % hingga 10 %.
7. Contoh-contoh

1. Pak Haji Qodir punya rumah kotrakan petak 8 pintu di daerah Ciganjur. Harga kontrakan tiap pintu adalah Rp. 150.000,-. Jadi setiap bulan beliau menerima total uang kontrakan sebesar 8 x Rp. 150.000 = Rp. 1.200.000,-.

Namun ini adalah pemasukan kotor. Sedangkan kehidupan Pak Haji Qodir ini semata-mata menggantungkan dari hasil kontrakan. Beliau punya tanggungan nafkah keluarga yang kebutuhan pokoknya rata-rata tiap bulan Rp. 1.000.000,-. Jadi yang tersisa dari pemasukan hanya Rp. 200.000,-. Bila dikumpulkan dalam setahun, maka akan didapat Rp. Rp. 2.400.000,- dari pemasukan bersihnya. Angka ini sudah melewati nishab zakat investasi yang besarnya Rp. 1.300.000,-.

Karena itu zakat yang harus dikeluarkan adalah 5 % dari pemasukan bersih. Jadi besarnya zakat yang dikeluarkannya adalah dari setiap pemasukan bersih tiap bulan 5 % x Rp. 200.000 = Rp. 20.000,-.

Angka ini tidak terasa memberatkan bagi seorang Haji Qodir yang bukan termasuk investor kaya.

2. PT. Alam Prima memiliki 1000 armada taxi. Uang setoran bersih tiap taxi setelah dipotong biaya perawatan dan lain-lain adalah Rp. 100.000,- perhari. Separo dari armadanya masih berstatus hutang kredit. Sehingga uang setoran untuk ke-500 armada itu digunakan untuk mencicil pembayaran.

Maka dalam sehari pemasukan bersihnya adalah Rp. 100.000.000,- dikurangi Rp. 50.000.000 = Rp. 50.000.000,-.

Zakat yang harus dikeluarkan adalah 5 % x Rp. 50.000.000,- = Rp. 2.500.000,- perhari. Dalam setahun akan terkumpul dana zakat dari PT Alam Prima uang zakat sebesar 365 x Rp. 2.500.000,- = Rp. 912.500.000,-.

Jumlah yang lumayan besar ini tentu sangat berarti untuk mengentaskan kemiskinan umat Islam. Seandainya semua perusahaan taxi milik umat Islam menerapkan zakat dalam perusahaannya, banyak hal yang bisa dikerjakan.

Peranan dan Kriteria Amil Zakat

‘Amil zakat yang profesional di dalamnya bukan sekedar kumpulan petugas pelaksana, namun ada para ahli syariat yang akan menentukan kriteria penerima zakat sekalian dengan sekala priorotasnya.

‘Amil zakat itu dibentuk salah satunya adalah untuk menghindari dana-dana yang kurang mengena. Mereka bertugas melakukan pertimbangan dan memutuskan untuk memberikan porsi lebih besar pada orang tertentu atau kelompok tertentu dengan pertimbangan yang matang.
Di zaman dahulu ‘amil zakat benar-benar efisien dalam bekerja sehingga mampu mengangkat kemiskinan seperti di zaman Umar bin Abdul Aziz dan lainnya.
Sehingga secara syar`i kerja para ‘amil zakat ini didukung dengan diberikannya mereka sebagian hak harta zakat itu. Ini untuk menunjang kinerja panitia agar lebih produktif dan profesional. Namun dibatasi hanya 1/8 dari harta zakat yang terkumpul, terutama zakat mal. Karena zakat fitrah itu sifatnya sementara dan umumnya sedikit. Tidak terlalu dibutuhkan usha yang terlalu keras untuk mengerjakannya. Karena umumnya umat Islam secara berbondong-bondong akan mendatangi panita penerimaan zakat fitrah. Sedangkan pada zakat mal, memang mutlak dibutuhkan keberadaan 'amil yang profesional.
Kemampuan Khusus Buat 'Amil Zakat
Khusus amil zakat mal, seharusnya punya kriteria yang cukup. Paling tidak mereka harus orang yang ahli di bidangnya masing-masing.

1. Adanya ahli syariah agar tahu apa dan bagaimana hukum zakat itu.

2. Ada ahli managemen agar piawai memanage lembaganya dengan profesional, efektif dan efisien.

3. Ada ahli ekonomi kerakyatan dan pendataan lapangan agar tahu persis siapa saja di antara masyarakat yang masuk dalam kriteria mustahik zakat.

4. Ada ahli ekonomi perusahaan dan dunia usaha agar tahu siapa saja yang wajib zakat.

5. Dan juga ahli-hali lainnya untuk menunjang berhasilnya sistem zakat ini.

Semua potensi itu dihimpun dengan baik dan harus bekerja secara profesional selain harus aktif mendatangi para wajib zakat, bukan hanya menunggu di kantor. Untuk semua tugas berat itu, wajarlah bila mereka dikatakan sebagai amil profesional dan wajar pula mereka mendapat maksimal 1/8 bagian zakat sebagai amil.
Tetapi kalau sekedar ‘amil-amilan’ dan tidak jelas tingkat profesionalismenya, jangan-jangan hanya akan memakan harta zakat. Atau sedekedar mengkoordinir zakat fitrah yang sebenarnya tidak terlalu memeras keringat.
Sesunggunya kerja amil zakat itu cukup berat karena bukan sekedar menerima dan menyalurkan zakat saja. Tetapi lebih dari itu juga punya beban untuk mengentaskan kemiskinan dan pemerataan kesejahteraan.
Kewajiban 'Amil Untuk Mengambil Zakat
Dari segi pemungutan zakat, tidak cukup hanya sekedar menunggu di sekretariat, tetapi harus menjemput bola dengan mengadakan pendataan yang akurat kepada wajib zakat. Semua lapisan umat Islam harus didata kekayaannya lalu dibuatkan kalkulasi penghitungan zakatnya hinga ditagih dari mereka. Allah SWT memerintahkan kepada Rasulullah SAW untuk mengambil zakat dari orang-orang kaya. Kemdian tugas itu diamanahkan kepada para petugas khusus, yaitu para amil zakat

خذ من أموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(QS. At-Taubah : 103)

Dari segi penyaluran, perlu diadakan riset dan penelitian tentang jumlah fakir miskin di suatu wilayah tertentu lengkap dengan potensi pengembangan sumber daya manusia mereka. Sehingga bisa dibuatkan skala prioritas yang bisa diberi zakat terlebih dahulu.
Idealnya zakat yang diberikan itu harus bisa menyelesaikan problem kemiskinan dengan cara memberi peluang, pelatihan, pendidikan, motivasi dan modal real untuk usaha. Dengan bekal-bekal itu para mustahik zakat itu bisa dirubah nasibnya dan didongkrak ekonominya. Dengan harapan pada tahun-tahun mendatang mereka sudah bukan lagi mustahiq tetapi sudah jadi muzakki yang menyisihkan sebagian hartanya untuk zakat.
Semua kerja itu tidak bisa dilakukan sambil lalu, tetapi membutuhkan tenaga profesional dan mahir serta solid. Dengan demikian zakat itu bisa berjalan secara sistematis.
Dalam konteks seperti itulah para amilin layak mendapatkan bagian harta zakat karena mereka memang mencurahkan perhatian dan kerjanya sepenuhnya untuk berjalannya sistem zakat.
Sedangkan panitia penerimaan dan penyaluran zakat yang sering dibuat baik di suatu masjid atau instansi namun dikerjakan dengan pasif dan menunggu saja, kurang layak untuk mendapat bagian harta zakat. Apalagi mereka telah digaji oleh instansinya sendiri. Tapi bila memang para amil itu sendiri termasuk orang miskin yang hidupnya kekurangan, maka boleh saja menerima harta zakat dari pos fakir miskin.
Insya Allah pada gilirannya, dari lembaga seperti inilah nanti kita bisa mengharapkan SDM yang berpengalaman untuk mengelola zakat bila negara Islam ini resmi berdiri dalam waktu dekat. Jelas kita akan memerlukan SDM berpengalaman di lapangan untuk menggulirkan program zakat secara nasional. Kalau masih mengharapkan para pegawai bermental korup jelas merupakan musibah besar.
Bahwa lembaga-lebaga zakat ini tidak punya kekuatan untuk memerangi yang tidak bayar zakat, itu memang harus diakui. Tapi kalau kita melihat jumlah orang yang secara kesadaran mau bayar zakat dengan jumlah secara kualitatif dan kuantitastif lembaga zakat ini, kelihatannya masih berimbang. Artinya sekedar melayani zakat dari kalangan ‘sadar zakat’ pun sebenarnya lembaga-lembaga ini sudah cukup disibukkan. Apalagi bila nanti lembaga ini diresmikan sebagai salah satu badan resmi pemerintah baik berbentuk departemen atau kementerian.
Pada saat itu nanti, tentu saja idealnya lembaga-lembaga ini diisi dengan orang-orang profesional di bidangnya dan punya kapasistas yang memadai serta pengalaman lapangan yang cukup.

Zakat Al-Fithr

A. Masyru'iyah

Zakat fitrah atau disebut dengan shadaqah al-fithr adalah salah satu bentuk zakat yang diwajibkan Allah buat laki-laki, wanita, besar, kecil, anak-anak, dewasa dari umat ini. Dasar pensyariatannya adalah dalil berikut ini

Rasulullah SAW memfardhukan zakat fithr bulan Ramadhan kepada manusia sebesar satu shaa' kurma atau sya'ir, yaitu kepada setiap orang merdeka, budak, laki-laki dan perempuan dari orang-orang muslim. (HR. Jamaah kecuali Ibnu Majah dari hadits Ibnu Umar)
Disyariatkan pertama kali pada bulan Sya'ban tahun kedua semenjak peristiwa hijrahnya nabi SAW dari Mekkah ke Madinah. Tepat pada tahun dimana diwajibkannya syariat puasa bulan Ramadhan.
Dari Abi Said Al-Khudhri ra,"Kami mengeluarkan zakat fithr ketika dahulu Rasulullah bersama kami sebanyak satu shaa' tha'aam (hinthah), atau satu shaa' kurma, atau satu shaa' sya'ir, atau satu shaa' zabib, atau satu shaa' aqith. Dan aku terus mengeluarkan zakat fithr sedemikian itu selama hidupku". (HR. Jamaah - Nailul Authar)
B. Hikmah dan Hukumnya
Hikmah diwajibkannya zakat fithr adalah untuk menambal kekurangan pahala puasa kita. Serta tentu saja mencukupkan kekurangan orang-orang faqir pada hari raya Fithr.
Waqi' ibnul Jarrah berkata,"Zakat fithr di bulan Ramadhan seperti sujud sahwi dalam shalat, yaitu melengkapi kekurangan pahala puasa, sebagaimana sujud sahwi melengkapi shalat".
Zakat fithr ini hukumnya wajib atas setiap manusia yang muslim, baik dia sudah dewasa maupun ketika masih kanak-kanak. Bahkan janin yang masih ada di dalam perut ibunya dan sudah bernyawa, termasuk yang terkena kewajiban untuk dikeluarkan zakatnya. Zakat ini juga tetap wajib atas laki-laki dan wanita, termasuk khuntsa. Juga wajib atas orang yang berakal atau pun yang tidak berakal (gila).
C. Ukuran dan Waktu Pemberian

Dari Ibnu Umar ra berkata bahwa Rasulullah SAW mewajibkan zakat fithr sebesar 1 sha' kurma atau 1 sha' tepung (syair), atas setiap hamba atau tuan, laki atau perempuan, kecil atau besar yang beragama Islam. Dan memerintahkan agar ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang untuk shalat. (HR. Muttafaq 'alaihi)
Besar harta yang harus dikeluarkan adalah satu sha‘ gandung, kurma atau makanan sehari-hari. Bila dikonversikan ke bentuk beras menjadi 2, 176 kg. Dalam mazhab Hanafi, pembayarannya boleh dikonversikan dalam bentuk uang seharga 1 sha‘ itu sesuai dengan jenis makanan di negeri masing-masing.
Zakat Fithr diberikan pada malam 1 Syawwal hingga shalat Iedul Fitri dan boleh dimajukan pembayarannya dua tiga hari sebelum itu. Bahkan ada juga yang membolehkan sejak awal Ramadhan.
Bila Penetapan 1 Syawwal Berbeda, Kapan Berzakat?
Seseorang harus melaksanakan ibadah sesuai apa yang diyakininya. Dan pada dasarnya, semua hal yang berkaitan dengan keyakinan itu harus sejalan.
Misalnya, bila seseorang berketetapan bahwa hari Raya Idul Fithri adalah tanggal 5 Desember, maka seharusnya dia shalat Idul Fithri pada tanggal itu dan bukan pada tanggal 2 Syawwal. Juga pada hari itu dia tidak boleh puasa karena haram berpuasa di hari Ied. Termasuk juga zakat fithrah.
D. Haruskah Lewat Amil Zakat?
Bila tidak ada amil zakat, ada punya pilihan. Pertama, yaitu dengan mencari sendiri fakir miskin di lingkungan kita. Dengan ini diharapkan terbentuk jalinan kasih sayang antara kaya dan miskin. Dan harta zakat itu diutamakan untuk fakir miskin yang lebih dekat.
Alterntif kedua, boleh disalurkan lewat amil yang profesional agar bisa dikelola dengan baik. Keduanya pada dasrnya merupakan pilihan yang memiliki kelebihan dan kekurangannya.
E. Mengganti Zakat Fithr Dengan Uang
Kalau ada uang, belum tentu segera bisa dibelikan makanan. Bayangkan di zaman itu tidak ada restoran, rumah makan, mall, super market 24 jam dan sebagainya. Padahal waktu membayar zakat fitrah itu pada malam lebaran. Bisa-bisa di hari raya, orang miskin itu punya uang tapi tidak bisa makan. Ini hanya sebuah analisa.
Namun Imam Abu Hanifah membolehkan mengganti makanan itu sesuai dengan harganya. Pendapat beliau nampaknya lebih sesuai dengan kondisi sekarang ini. Uang di masa kita ini telah menjadi alat tukar yang sangat praktis.
Karena itu para ulama di masa kini melihat bahwa dengan membayar zakat fitrah menggunakan uang, lebih banyak mashlahatnya ketimbang dengan beras atau bentuk makanan yang lainnya.
F. Kewajiban Siapa?
Pada dasrnya yang berkewajiban untuk membayarkan zakat fitrah adalah orang yang menanggung nafkah seseorang. Umumnya adalah ayah atau suami yang menjadi pimpinan dalam sebuah keluarga.
Namun dalam pelaksanaannya, bila ada di antara anggota keluarga ada yang ingin membayarkannya dengan sepengetahuan / izin dari ayah /suami,maka syah hukumnya. Meski pun kalau merujuk kepada siapa yang seharusnya menanggung zakat itu, tentunya adalah yang berkewajiban untuk menafkahi.
Kecuali bila ayah atau suami itu memang sudah tidak mampu lagi untuk menafkahi seperti karena sudah tua atau sakit, sehingga jangankan untuk menafkahi keluarganya, untuk sekedar menafkahi dirinya pun dia tidak mampu. Untuk itu, maka nafkahnya itu ditanggung oleh ahli warisnya atau anaknya. Dan pada kondisi demikikian, maka si anak yang sudah menanggung nafkah inilah yang berkewajiban untuk membayarkan zakat fitrah sang ayah.
Apakah bayi dalam kandungan dan yang belum baligh kena zakat fitrah?
Jumhur ulama menyepakati bahwa bayi yang masih dalam kandungan tidaklah diwajibkan untuk dikeluarkan zakat fitrahnya. Karena meski dia seorang calon manusia, tapi belumlah dianggap sebagai manusia yang utuh. Sehingga kalau belum lahir pada saat hari raya Iedul Fithri, maka tidak perlu dizakatkan.
Bagaimana kalau pada malam hari raya lahir ? Jumhur ulama selain Imam Abu Hanifah ra mengatakan bahwa bayi yang lahir setelah terbenamnya matahari pada malam 1 syawal, sudah wajib dizakatkan. Karena titik dimulainya kewajiban zakat itu ada pada saat terbenamnya matahari pada malam 1 syawwal.
Sedangkan Imam Abu Hanifah ra mengatakan bahwa titik awal wajibnya zakat fitrah adalah saat terbit fajar keesokan harinya. Jadi bila bayi lahir pada tanggal 1 syawwal pagi hari setelah matahari terbit, harus dikeluarkan zakat fithrahnya.
Di luar jumhur ulama, ada pendapat dari kalangan mazhab zahiri yaitu Ibnu Hazm yang beranggapan bahwa seorang bayi itu sudah dianggap manusia sempurna sejak dia berusia 120 di dalam kandungan. Jadi bila pada saat terbit matahari 1 syawwal seorang bayi genap berusia 120 hari di dalam kandungan, sudah wajib zakat.
Namun pendapat ini agak menyendiri sifatnya dan bertentangan dengan pendapat jumhur ulama. Bahkan Dr. Yusuf Al-Qaradawi yang terkenal moderat dalam masalah zakat pun tidak mendukung pendapat Ibnu Hazm ini dan beliau mengatakan tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu. Demikian keterangan yang kami dapat dalam Fiqhuz Zakatnya.

Para Mustahiq Zakat

A. Dalil Quran Tentang Mustahiq Zakat

Zakat adalah bentuk ibadah yang unik dan spesifik. Meski pada hakikatnya merupakan ibadah sosial yang intinya memberikan bantuan dari harta di kaya kepada si miskin, namun kriteria si miskin yang menerima harta telah ditentukan Allah SWT secara langsung di dalam Al-Quran Al-Kariem. Dan ternyata, orang-orang yang berhak atas harta zakat itu bukan semata-mata orang miskin saja, melainkan ada lagi orang-orang dengan kriteria tertentu yang juga berhak atas harta zakat itu.

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS. At-Taubah : 60)

Dari ayat ini kita bisa merinci bahwa mustahiq zakat itu ada 8 kelompok (asnaf). Mereka adalah :

1. Orang-orang fakir

2. Orang-orang miskin

3. Pengurus-pengurus zakat

4. Para mu'allaf (orang yang dibujuk hatinya masuk Islam)

5. Untuk budak

6. Orang-orang yang berhutang

7. Untuk jalan Allah

8. Mereka yang sedang dalam perjalanan

B. Rincian Para Penerima Zakat

1. Orang-orang fakir
Faqir seringkali disamakan dengan miskin. Karena kedua memiliki kemiripan satu sama lain. Namun masing-masing tetap memiliki keunikan yang membedakannya dengan lainnya.
Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah memandang bahwa yang dimaksud dengan faqir adalah orang yang tidak punya harta serta tidak punya penghasilan yang mencukupi kebutuhan dasarnya. Atau mencukupi hajat paling asasinya. Ttermasuk diantaranya adalah seorang wanita tidak punya suami yang bisa menafkahinya.
Hajat dasar itu sendiri berupa kebutuhan untuk makan yang bisa meneruskan hidupnya, pakaian yang bisa menutupi sekedar auratnya atau melindungi dirinya dari udara panas dan dingin, serta sekedar tempat tinggal untuk berteduh dari panas dan hujan atau cuaca yang tidak mendukung.
2. Orang-orang miskin
Sedangkan miskin adalah orang yang tidak punya harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, namun masih ada sedikit kemampuan untuk mendapatkannya. Dia punya sesuatu yang bisa menghasilkan kebutuhan dasarnya, namun dalam jumlah yang teramat kecil dan jauh dari cukup untuk sekedar menyambung hidup dan bertahan.
Dari sini bisa kita komparasikan ada sedikit perbedaan antara faqir dan miskin, yaitu bahwa keadaan orang faqir itu lebih buruk dari orang miskin. Sebab orang miskin masih punya kemungkian pemasukan meski sangat kecil dan tidak mencukupi. Sedangkan orang faqir memang sudah tidak punya apa-apa dan tidak punya kemampuan apapun untuk mendapatkan hajat dasar hidupnya.
Pembagian kedua istilah ini bukan sekedar mengada-ada, namun didasari oleh firman Allah SWT berikut ini :

أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا

Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.(QS. Al-Kahfi : 79)

Di ayat ini disebutkan bahwa orang-orang miskin itu masih bekerja di laut. Artinya meski mereka miskin, namun mereka masih punya hal yang bisa dikerjakan, masih punya penghasilan dan pemasukan, meski tidak mencukupi apa yang menjadi hajat kebutuhan pokoknya.
Namun Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah menyatakan sebaliknya, bahwa orang miskin itu lebih buruk keadaannya dari orang faqir. HAl ini didasarkan kepada makna secara bahasa dan juga nukilan dari ayat Al-Quran juga.
atau kepada orang miskin yang sangat fakir.(QS. Al-Balad : 16)
3. Pengurus-pengurus zakat (amil zakat)
Mereka seringkali disebut dengan istilah su'aat lli jibayatizzakah yang artinya adalah orang yang berkeliling untuk mengumpulkan zakat. Disyaratkan untuk mereka adalah yang memiliki ilmu tentang hukum zakat. Juga yang bersifat amanah dan adil. Termasuk di dalamnya adalah para pencatat, pembagi zakat, menyimpan harta dan keahlian lainnya yang terkai erat dengan tugas mengumpulkan dan membagi zakat.
Mereka itu bekerja dengan baik agar proses pengambilan harta zakat berjalan dengan benar, tepat sasaran, serta tidak terlewat. Juga mereka bekerja keras untuk bisa memastikan bahwa orang-orang yang berhak mendapat zakat itu benar-benar menerimanya.
Atas semua kerja keras dan jasa ini, mereka pun berhak mendapatkan bagian dari dana zakat, meski pun mereka sudah kaya.
4. Para mu'allaf (orang yang dibujuk hatinya masuk Islam)
Yang termasuk sebagai muallaf sebenarnya tidak terbatas kepada orang yang baru masuk Islam saja, tetapi termasuk juga orang-orang yang masih dalam agama non Islam atau masih kafir, namun sedang dibujuk hatinya untuk masuk Islam.
Muallaf yang kafir ini pun masih terbagi lagi menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang diharapkan kebaikannya. Kedua, mereka yang dihindari kejahatannya.
Mereka yang diharapkan kebaikannya adalah mereka yang diharapkan masuk Islam. Sehingga mereka diberikan sebagian dari harta zakat, agar ada semacam dorongan bisa masuk Islam. Sedangkan mereka yang dihindari kejahatannya adalah orang-orang kafir yang selama ini memusuhi umat Islam. Kepada mereka, dibolehkan pemberian sebagian harta zakat demi untuk melunakkan hati dan mengurangi atau menghentikan permusuhan kepada kaum muslimin.
Di dalam shahih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah SAW telah memberikan sebagian harta zakat untuk Abu Sufyan bin Al-Harb, Sofwan bin Umayyah, 'Uyaynah bin Hishn, Al-Aqra' bin Habis dan Abbas bin Mirdas, masing-masing 100 ekor unta. Bahkan kepada 'Alqamah bin Ulatsah diberkan harta ghanimah perang Hunain. Semua itu dalam rangka membujuk hati mereka agar minimal mengurangi permusuhan kepada Islam. Dan kalau bisa sampai masuk Islam, tentu akan lebih baik lagi.
Namun sebagian ulama kurang sependapat dengan hal ini. Al-Hanafiyah dan As-Syafi'iyah mengatakan bahwa apa yang diberikan Rasulullah SAW itu hanya terjadi di masa awal dakwah Islam. Ketika umat Islam masih sedikit dan mereka sangat tertekan. Sedangkan ketika posisi umat Islam sudah kuat, tidak pernah lagi beliau memberikannya kepada mereka.
Dan hal ini juga dilakukan di zaman khalifah Umar bin Al-Khattab ra, dimana beliau tidak pernah memberikan harta zakat kepada orang kafir harta zakat.
Umar ra berkata,"Kita tidak akan memberikan sesuatu pun untuk menjadi muslim. Siapa yang mau silahkan masuk Islam dan siapa yang tidak mau silhakan kafir saja".
5. Untuk budak
Yang dimaksud dengan budak dalam hal ini menurut Al-Hanafiyah dan Asy-syafi'iyah adalah almukatibun, yaitu budak-budak yang sedang mengurus pembebasan dirinya dengan cara membayar / menembus harga atas dirinya itu kepada tuannya secara cicilan. Sebagaimana firman Allah SWT :
...Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka , jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.....(QS. An-Nur : 33)
Sebab bila tidak berstatus sebagai mukatib, tidak mungkin bisa dijalankan. Sebab dalam hukum yang berlaku, seorang budak itu biar bagaimana pun tetap tidak akan pernah punya hak kepemilikan atas harta yang diberikan kepadanya. Sebanyak apapun harta yang diberikan kepadanya, tidak akan ada gunanya. Sebab secara hukum yang beraku, semua harta itu otomatis menjadi milik tuannya.
Sedangkan pendapat Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah tentang masalah budak yang mendapatkan hak atas dana zakat, maksudnya adalah dana itu dikeluarkan langsung untuk membeli budak kepada tuannya dan membebaskannya. Jadi budak itu sendiri tidak menerima uang dari amil zakat, sebab amil zakat itu yang langsung membebaskan dirinya menjadi manusia yang merdeka.
Dan disyaratkan bahwa budak yang dibebaskan itu adalah budak yang agamanya Islam, bukan yang beragama selain Isla. Tapi berhubung di masa sekarang ini sudah tidak dikenal lagi perbudakan, maka jatah untuk mereka otomatis telah hangus dengan sendirinya.
6. Orang-orang yang berhutang
Dalam hal ini As-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah mengatakan ada 2 kemungkinan orang yang berhutang. Pertama, seseorang berhutang untuk keperluan dirinya sendiri. Dalam hal ini, bila pada dasarnya dia adalah orang kaya dan berkecukupan, tidaklah berhak atas dana zakat. Kedua, seseorang berhutang untuk kepentingan pihak lain, seperti untuk mengishlah pihak-pihak yang bersengketa, maka dia berhak atas dana zakat untuk menutupi hutangnya itu, tanpa melihat apakah dia miskin atau kaya. Meski dia kaya, tapi tetap berhak atas dana zakat.
Sedangkan Al-Hanafiyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan gharim adalah orang yang sudah dikejar oleh penagih hutang, namun tidak punya harta untuk membayarnya.
7. Untuk jalan Allah
Mereka adalah para peserta pertempuran pisik melawan musuh-musuh Allah dalam rangka menegakkan agama Islam. Meskipun mereka itu pada hakikatnya orang-orang yang cukup berada, menurut jumhur ulama. Sebab dalam hal ini memang bukan sisi kemiskinannya yang dijadikan objek zakat, melainkan apa yang dikerjakan oleh para mujahidin itu merupakan mashlahat umum.
Adapun para tentara yang sudah berada di dalam kesatuan, dimana mereka sudah mendapatkan gaji tetap dari kesatuannya, tidak termasuk di dalam kelompok penerima zakat.
Namun seorang peserta perang yang kaya, tidaklah berperang dengan mengguakan harta yang wajib dizakati dari kekayaannya. Sebagai seorang yang kaya, bila kekayaannya itu mewajibakan zakat, wajiblah atasnya mengeluarkan harta zakat dan menyerahkannya kepada amil zakat. Adapun bila kemudian dia ikut perang, dia berhak mendapatkan harta dari amil zakat karena ikut sertanya dalam peperangan. Tapi tidak boleh langsung di-bypass. Dia harus bayar zakat dulu baru kemudian menerima dana zakat.
Namun Abu Hanifah mengatakan bahwa seorang kaya yang ikut serta dalam peperangan, maka dia tidak berhak menerima dana dari harta zakat.
Apakah pergi haji termasuk kategori fi sabilillah ?
Al-Hanabilah dan sebagian Al-Hanafiyah mengatakan bahwa pergi haji ke baitullah itu masih termasuk kategori fi sabilillah. Mereka menggunakan dalil berikut ini :
Dari Ibnu Abbas ra bahwa seseorang menyerahkan seekor untuk fi sabilillah, namun istrinya ingin pergi haji. Nabi SAW bersabda,"Naikilah, karena hajji itu termasuk fi sabilillah". (HR. Abu Daud)
Maka seorang miskin yang berkewajiban haji berhak atas dana zakat, menurut pendapat ini. Asalkan hajinya haji yang wajib, yaitu haji untuk pertama kali. Sedangkan untuk haji yang sunnah, yaitu haji yang berikutnya, tidak termasuk dalam kategori ini.
8. Mereka yang sedang dalam perjalanan
Yaitu musafir yang berada jauh dari negeri asalnya, meskipun dia adalah seorang yang berkecukupan di negerinya. Namun keadaaanya yang sedang dalam perjalanan, membuatnya berhak mendapatkan harta zakat. Asalkan perjalannya itu bukan perjalanan maksiat.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Panduan Zakat"

Posting Komentar